Sebagai organisasi perjuangan profesi dan ketenagakerjaan, memiliki tanggung jawab moral untuk merefleksikan etika dan moralitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Refleksi kali ini kami angkat dari ungkapan filosofis yang mendalam dari salah satu tokoh pendiri bangsa, Haji Agus Salim: “Leiden is lijden.” Memimpin adalah menderita.

Menggali Makna “Memimpin adalah Menderita”

Ungkapan dari Haji Agus Salim, yang fasih berbahasa Belanda, bukanlah ungkapan tentang kesengsaraan fisik, melainkan tentang penderitaan etis dan moral.

Penderitaan (Lijden) yang dimaksud adalah:

  • Penderitaan Empati: Merasakan penderitaan rakyat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin sejati menderita karena ia tidak tahan melihat kesulitan yang dialami oleh warganya.
  • Penderitaan Pengorbanan: Kesiapan mengesampingkan kepentingan pribadi, kenyamanan, dan bahkan hak-hak pribadi demi kepentingan publik.
  • Penderitaan Tanggung Jawab: Beban moral yang tidak ringan dalam mengambil keputusan, menanggung kesalahan bawahan, dan menjaga integritas di tengah godaan kekuasaan.

Pada hakikatnya, “memimpin adalah menderita” adalah sinonim dari keteladanan dan integritas—fondasi utama dari moralitas seorang pemimpin.

Pergeseran Paradigma: Fasilitas Menggantikan Moralitas

Namun, refleksi yang kita saksikan hari ini menunjukkan adanya pergeseran yang memprihatinkan. Penderitaan yang seharusnya diemban oleh pemimpin, kini seolah-olah dialihkan kepada rakyat.

Yang naik justru fasilitas, bukan moralitas.

Yang berlipat justru tunjangan, bukan keteladanan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa konsep kepemimpinan telah bergeser dari sebuah panggilan pengabdian menjadi hak istimewa (privilege). Para pemimpin yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menghadapi kesulitan, kini justru membangun benteng kenyamanan yang memisahkan mereka dari realitas yang dipimpinnya. Kenaikan tunjangan dan fasilitas seringkali tidak sejalan dengan peningkatan moralitas dan keteladanan dalam bekerja.

Jarak antara Mimbar dan Trotoar

Jarak antara pemegang kekuasaan dan rakyatnya semakin lebar, menciptakan jurang komunikasi dan empati:

  •  Pemimpin: Bicara tentang rakyat dari atas mimbar, berbicara dalam bahasa statistik, program kerja, dan narasi keberhasilan.
  • Rakyat: Bicara tentang lapar dari atas trotoar, berbicara dalam bahasa kebutuhan dasar, kesulitan ekonomi, dan perjuangan sehari-hari.

Inilah ilustrasi nyata dari kalimat: “Semakin tinggi jabatan, semakin jauh dari kenyataan.”

  • Kepemimpinan Ilusi di Atas Penderitaan Lain

Jika penderitaan sebagai seorang pemimpin telah dieliminasi, maka yang tersisa adalah kekuasaan tanpa hati. Tanpa kesediaan untuk merasakan lijden, seorang pemimpin kehilangan kompas moralnya.

Konsekuensi dari Kepemimpinan Tanpa Penderitaan:

  • Keputusan Oportunis: Kebijakan yang diambil cenderung bersifat jangka pendek, populis, dan menguntungkan segelintir elit, bukan berdasarkan kebutuhan fundamental rakyat.
  • Erosi Kepercayaan: Rakyat akan sulit mempercayai pemimpin yang hidup dalam kemewahan saat mereka sendiri berkutat dengan kesusahan.
  • Menciptakan Ilusi: Apabila memimpin tak lagi berarti menderita, maka yang dipimpin bukanlah negara yang sesungguhnya, melainkan ilusi tentang kejayaan yang dibangun di atas penderitaan orang lain—sebuah fondasi rapuh yang cepat atau lambat akan runtuh.

Bagi Bapak/Ibu Guru dan seluruh insan PGRI Kota Cilegon, etika kepemimpinan ini sangat relevan dengan peran kita sebagai pemimpin di ruang kelas.

  • Guru adalah Pemimpin: Kita adalah pemimpin bagi peserta didik kita. Kita harus siap “menderita” dalam arti pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memastikan setiap anak mendapatkan pendidikan terbaik, meskipun dengan segala keterbatasan fasilitas.
  • Keteladanan adalah Mata Pelajaran Utama: PGRI berpesan, mari kita tegakkan moralitas dan keteladanan di lingkungan kita, menjadi agen perubahan yang menolak mentalitas ‘aji mumpung’ kekuasaan. Kita harus menjadi contoh nyata bahwa moralitas harus selalu lebih tinggi daripada fasilitas.

Mari kita jaga idealisme ini, dan terus menuntut para pemimpin di semua tingkatan untuk kembali memegang teguh filosofi “Leiden is lijden,” demi terwujudnya bangsa yang adil dan bermartabat.

Sumber Rujukan:

  • Refleksi Filosofis Tokoh Bangsa Haji Agus Salim.
  • Kajian Etika Kepemimpinan dalam Konteks Moralitas dan Pengabdian Publik.