Penugasan Guru menjadi Kepala Sekolah berdasarkan Permendikbudristek Nomor 7 Tahun 2025, dalam perspektif Kewenangan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Permendikbudristek Nomor 7 Tahun 2025 merupakan dua regulasi yang mengatur secara spesifik mekanisme penugasan guru sebagai kepala sekolah di lingkungan satuan Pendidikan yang dikelola oleh pemerintah daerah. Regulasi tersebut pada dasarnya dibuat dalam semangat peningkatan mutu Pendidikan nasional, di antaranya melalui persyaratan khusus seperti kewajiban mengikuti Guru Penggerak, mengikuti seleksi calon kepala sekolah secara nasional (BCKS), masa penugasan maksimal 2 periode (masing-masing 4 tahun), serta pembatasan rotasi sebelum dua tahun masa penugasan berjalan.

Namun demikian, sejumlah ketentuan dalam peraturan Menteri tersebut menimbulkan problem hukum dan ketatanegaraan, khususnya karena berpotensi malampaui kewenangan pemerintah pusat dan menimbulkan pembatasan terhadap ruang kebijakan pemerintah daerah dalam pengelolaan sektor Pendidikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius terkait kesesuaian substansi peraturan Menteri tersebut dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang merupakan hukum positif yang mengatur pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah.

Bahwa, dalam pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 secara tegas mengatur bahwa Pendidikan merupakan urusan pemerintahan konkuren, yaitu urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam konteks ini, pemerintah daerah memiliki kewenangan mengatur dan mengurus sendiri urusan Pendidikan sesuai dengan prinsip otonomi daerah. Hal ini mencukup pula kewenangan dalam penataan dan pengelolaan tenaga kependidikan, termasuk guru dan kepada sekolah di lingkungan daerahnya.

Otonomi daerah dalam bidang Pendidikan bukanlah konsep administratif semata, melainkan bagian dari sistem desentralisasi yang dijamin oleh konstitusi. Tujuannya adalah agar setiap daerah dapat menyesuaikan kebijakan publik berdasarkan kondisi, kebutuhan, serta potensi daerah masing-masing. Dengan demikian, daerah memiliki legitimasi konstitusional untuk menentukan kebijakan pengangkatan, penugasan, mutasi, dan rotasi kepala sekolah sepanjang tidak bertentangan dengan standar nasional Pendidikan.

Namun, dalam praktiknya, ketentuan-ketentuan dalam Permendikbudristek nomor 7 tahun 2025 justru mengintervensi secara langsung kewenangan daerah. Contohnya, kewajiban kepala sekolah harus berasal dari guru penggerak secara ekslusif, yang ditetapkan melalui seleksi dan pelatihan nasional, mengakibatkan daerah kehilangan kewenangan untuk menetapkan kriteria kepala sekolah sebagai kebutuhan lokal. Bahkan, daerah yang kekurangan guru penggerak atau yang tidak memiliki akses penuh terhadap program tersebut secara praktis tidak dapat menunjuk kepala sekolah baru, meskipun secara teknis dan manajerial terdapat guru yang layak dan memenuhi kualifikasi di luar skema tersebut.

Demikian pula, pembatasan masa penugasan kepala sekolah maksimal dua periode dan larangan rotasi sebelum dua tahun penugasan, sangat membatasi ruang manajemen sumber daya manusia di tingkat daerah. Padalah dalam sistem otonomi daerah, kebijakan internal seperti ahli tugas atau rotasi pejabat fungsional seharusnya berada dalam domain kewenangan daerah, dengan pertimbangan kebutuhan dan dinamika Pendidikan lokal. Ketika peraturan pusat mengunci kebijakan tersebut dalam format nasional yang kaku, maka fleksibilitas dan responsivitas daerah menjadi hilang.

Kondisi ini menciptakan konflik kewenangan antara pusat dan daerah yang berpotensi melanggar subsidiarity dalam pemerintahan daerah, yaitu pengambilan keputusan seharusnya dilakukan oleh tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat. Ketika pusat mengambil alih keputusan yang semestinya dapat ditangani oleh daerah, maka sistem otonomi menjadi semu, dan pemerintah daerah hanya menjadi pelaksana teknis kebijakan pusat tanpa ruang untuk berinovasi.

Dari segi hierarki perundang-undangan, perlu dicermati bahwa peraturan Menteri merupakan produk hukum di bawah undang-undang. Oleh karena itu, tidak dapat dibenarkan apabila peraturan Menteri menetapkan norma hukum yang bertentangan atau melampaui ketentuan undang-undang, apalagi membatasi kewenangan yang telah dijamin oleh undang-undang. Dalam konteks ini, Permendikbudristek nomor 7 tahun 2025 dapat dikategorikan sebagai ultra vires atau melebihi kewenangan apabila membatasi secara sepihak kewenangan daerah yang diberikan oleh UU Nomor 23 tahun 2014.

Ketentuan dalam Permendikbudristek Nomor 7 Tahun 2025, khususnya mengenai pembatasan masa penugasan kepala sekolah selama maksimal (2) dua periode atau 8 (delapan) tahun, dan setelah itu kepala sekolah wajib kembali menjadi guru, secara nyata telah membatasi ruang kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur karier dan penugasan tenaga kependidikan. Peraturan tersebut menetapkan batas periodesasi secara nasional dan absolut, tanpa memberikan ruang pertimbangan bagi pemerintah daerah untuk melakukan perpanjangan masa jabatan atau penugasan ulang berdasarkan kinerja, kebutuhan satuan pendidikan, atau situasi tertentu di daerah.

Ketentuan tersebut menimbulkan kesan seolah olah pemerintah daerah di atur kewenangannya dalam menentukan periodesasi kepala sekolah.

Maka dari itu, secara hukum dan konstitusional, terdapat dasar kuat untuk mengajukan uji materi (judicial review) terhadap dasar kuat untuk mengajukan uji materi (judicial review) terhadap ketentuan-ketentuan tertentu dalam dan Permendikbudristek Nomor 7 tahun 2025 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Uji materi tersebut ditujukan untuk menilai apakah norma-norma dalam kedua permendik tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 dan prinsip otonomi daerah yang dijamin oleh UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Bahwa pembatasan tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Dalam hal ini, pengangkatan dan penugasan kepala sekolah merupakan bagian integral dari manajemen sumber daya manusia di sektor pendidikan yang merupakan urusan pemerintahan konkuren, di mana pemerintah daerah seharusnya memiliki kewenangan yang luas untuk menyesuaikan kebijakannya berdasarkan kebutuhan lokal.

Lebih lanjut, ketentuan dalam Permendikbudristek tersebut juga bertentangan dengan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, yang menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Ketika kebijakan pusat diberlakukan secara seragam tanpa mempertimbangkan keragaman karakteristik daerah, maka semangat pengakuan terhadap kekhususan dan kemandirian daerah sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 telah diabaikan.

Bahwa ketentuan dalam Permendikbudristek tersebut juga berpotensi merugikan hak konstitusional guru yang secara kemampuan, pengalaman, dan prestasi telah layak diangkat sebagai kepala sekolah, namun terhalang oleh persyaratan administratif yang ditentukan sepihak oleh pusat. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Ketika akses untuk menjadi kepala sekolah hanya dibuka bagi guru yang telah mengikuti program tertentu (seperti guru penggerak), tanpa memperhatikan aspek kompetensi lain yang relevan, maka hal tersebut merupakan bentuk perlakuan diskriminatif yang tidak sesuai dengan asas keadilan.

Selain itu, pengaturan yang bersifat kaku dan sentralistik ini juga menghambat pengembangan diri guru dan penguatan kualitas pendidikan di tingkat lokal, yang seharusnya dilindungi oleh Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan untuk kesejahteraan umat manusia.”

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Permendikbudristek Nomor 7 Tahun 2025 tidak hanya bertentangan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, tetapi juga telah melanggar norma-norma konstitusional dalam UUD 1945, khususnya Pasal 18 ayat (5), Pasal 18B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28C ayat (1).

Demi menjamin keseimbangan hubungan antara pusat dan daerah serta untuk menghindari potensi konflik kewenangan yang berkepanjangan, sangat disarankan agar pengaturan tentang penugasan guru sebagai kepala sekolah dikaji kembali dan diselaraskan dengan semangat desentralisasi pendidikan. Jika perlu, pengujian konstitusional terhadap norma-norma dalam Permendikbudristek Nomor 7 Tahun 2025 menjadi jalan hukum yang patut ditempuh guna menjamin hak konstitusional pemerintah daerah dalam mengelola sektor pendidikan secara mandiri sesuai dengan amanat reformasi dan desentralisasi.

Di Kopas dari WA Group PGRI Se Indonesia

Kuningan, 7 Oktober 2025

Hormat Kami

Kantor Hukum

“BAMBANG LISTI LAW FIRM”

Advocates, Kurator, Mediator Bersertifikasi MA RI No.93/KMA.SK/VI/2019 & Legal Consultant Hukum