Peristiwa Geger Cilegon 1888 bukan sekadar perlawanan fisik terhadap kolonialisme Belanda, melainkan juga gerakan berbasis nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan keadilan sosial. Perlawanan yang dipimpin oleh Ki Haji Wasyid dan para ulama Banten ini dapat menjadi sumber inspirasi bagi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai organisasi perjuangan yang berkomitmen memajukan pendidikan dan mempertahankan martabat bangsa. Berikut analisis bagaimana semangat Geger Cilegon dapat diadopsi oleh PGRI dalam konteks kekinian.

1. Semangat Perlawanan terhadap Ketidakadilan
Geger Cilegon muncul sebagai respons terhadap penindasan kolonial, termasuk pajak yang memberatkan, pelarangan praktik keagamaan, dan penghinaan terhadap budaya lokal .

Relevansi bagi PGRI:
– PGRI dapat mengambil inspirasi dari ketegasan Ki Wasyid dalam melawan kebijakan yang merugikan rakyat, seperti menolak kebijakan pendidikan yang tidak pro-rakyat.
– Memperjuangkan kesejahteraan guru honorer dan menentang komersialisasi pendidikan yang mengorbankan akses belajar masyarakat miskin.

2. Peran Ulama & Guru sebagai Agen Perubahan

Ki Wasyid dan kawan-kawan bukan hanya pejuang, tetapi juga pendidik yang menyebarkan pemikiran kritis melalui pengajian dan pesantren .

Relevansi bagi PGRI:
– PGRI harus memperkuat peran guru sebagai agen perubahan sosial, tidak hanya mengajar di kelas tetapi juga membangun kesadaran kritis siswa terhadap isu kebangsaan.
– Mengadopsi strategi pendidikan transformatif, seperti yang dilakukan Ki Wasyid dengan menggabungkan nilai agama, nasionalisme, dan perlawanan terhadap ketidakadilan.

3. Solidaritas dan Jaringan Perlawanan

Geger Cilegon melibatkan jaringan ulama, santri, dan masyarakat dari berbagai daerah, menunjukkan kekuatan gerakan kolektif .

Relevansi bagi PGRI:
– PGRI harus memperluas aliansi dengan organisasi masyarakat, pesantren, dan aktivis pendidikan untuk memperjuangkan kebijakan yang adil.
– Membangun solidaritas antar-guru di seluruh Indonesia untuk menolak kebijakan yang merugikan dunia pendidikan.

4. Perlawanan melalui Pendidikan & Literasi

Selain perlawanan fisik, Ki Wasyid menggunakan pendidikan dan dakwah untuk membangun kesadaran masyarakat .

Relevansi bagi PGRI:
– Memperkuat gerakan literasi kritis di sekolah-sekolah untuk membentuk siswa yang peka terhadap ketidakadilan sosial.
– Menggalakkan pendidikan kebangsaan yang mengajarkan sejarah perjuangan rakyat, termasuk Geger Cilegon, sebagai inspirasi melawan penindasan.

5. Warisan Nilai Perjuangan yang Abadi

Kini, upaya mengangkat Ki Wasyid sebagai Pahlawan Nasional menunjukkan bahwa semangat Geger Cilegon masih relevan .

Relevansi bagi PGRI:
– PGRI dapat **memperjuangkan pengintegrasian sejarah lokal seperti Geger Cilegon dalam kurikulum sekolah.
– Mengadakan **seminar dan napak tilas untuk mengingatkan guru dan siswa tentang pentingnya mempertahankan martabat bangsa melalui pendidikan.

Kesimpulan

Geger Cilegon 1888 bukan hanya kisah heroik masa lalu, tetapi cerminan semangat kolektif melawan penindasan. PGRI sebagai organisasi perjuangan guru dapat mengadopsi nilai-nilai ini dengan:
1. Memperjuangkan kebijakan pendidikan yang adil
2. Memperkuat peran guru sebagai agen perubahan
3. Membangun solidaritas dengan elemen masyarakat lain
4. Menggunakan pendidikan sebagai alat perlawanan terhadap ketidakadilan

Dengan semangat “Guru Pewaris Perjuangan”, PGRI dapat terus menginspirasi generasi muda untuk membela hak-hak pendidikan dan keadilan sosial, sebagaimana Ki Wasyid dan para pejuang Geger Cilegon membela rakyat Banten dari penjajahan.

Referensi:
– [1] Wikipedia Geger Cilegon
– [2] Cilegon Corner News (Proposal Gelar Pahlawan untuk Ki Wasyid)
– [3] Republika (Peran Ulama dalam Geger Cilegon)
– [5] Biografi Ki Wasyid di Wikipedia Inggris

**#PGRIBergerak #GuruPejuang #InspirasiGegerCilegon**